Tarif Ojol, Regulasi Baru, dan Nasib Driver Indonesia

Tarif Ojol | Tasman-series.com
Belakangan ini topik ojek online alias ojol makin panas dibahas. Bukan cuma soal order sepi atau tarif naik-turun, tapi juga karena pemerintah lagi nyusun regulasi baru yang bakal ngaruh langsung ke nasib driver. Bayangin aja, jutaan orang di Indonesia yang tiap hari nyari nafkah dari motor hijau atau kuning ini lagi menunggu kepastian aturan. Jadi jelas, urusan ojol bukan sekadar antar-jemput atau pesen makan, tapi udah jadi isu serius tentang kerja, penghasilan, sampai jaminan sosial.
DPR dan Regulasi Ojol
Di Senayan, DPR mulai masuk ke meja pembahasan. Salah satu poin yang rame adalah usulan supaya potongan aplikasi maksimal 10%. Kenapa penting? Karena selama ini banyak driver ngeluh potongan dari platform bisa tembus 20–30%. Kalau dihitung-hitung, dari ongkos Rp20 ribu misalnya, yang nyampe ke kantong driver bisa jauh lebih kecil setelah dipotong komisi.
Coba bayangin, dengan beban BBM yang naik, biaya servis motor, ban, oli, sampai pulsa internet, potongan segitu bikin driver makin megap-megap. Jadi usulan DPR ini dianggap angin segar. Minimal, ada batasan biar perusahaan aplikasi nggak terlalu dominan dalam bagi hasil.
Baca Juga : Film Ojol Inspiratif: Upstream (2024) Bahasa Indonesia
Regulasi yang Masih Abu-abu
Masalahnya, sampai sekarang posisi ojol di mata hukum masih abu-abu. UU Lalu Lintas (UU LLAJ) nggak ngakuin ojol sebagai angkutan umum. Jadi status mereka bukan kayak bus, taksi, atau angkot. Hasilnya, aturan soal ojol selama ini lebih banyak diatur lewat Permenhub, bukan undang-undang.
Yang udah ada misalnya Permenhub 12/2019. Isinya soal keselamatan, dari kewajiban pakai helm, motor yang layak jalan, sampai aturan biaya jasa. Tapi tetap aja, banyak hal belum dijawab. Misalnya soal jaminan sosial, perlindungan kerja, atau status hukum driver.
Demo Ojol: Suara Driver di Jalan
Nggak heran kalau driver sering turun ke jalan buat demo. Mereka minta aturan lebih jelas, bahkan ada yang mendesak Presiden bikin Perpres khusus soal ojol. Alasannya simpel: kalau cuma diatur di level menteri, kekuatan hukumnya kurang.
Tuntutan driver juga makin keras setelah beberapa insiden demo berujung tragis. Salah satunya ada driver yang tewas saat aksi protes. Kejadian ini bikin komunitas ojol makin vokal. Mereka ngerasa, perjuangan turun ke jalan itu bukan sekadar soal tarif, tapi soal keselamatan hidup dan masa depan keluarga.
Status Driver: Mitra atau Pekerja?
Salah satu perdebatan paling ribet adalah soal status driver: dianggap “mitra” atau “pekerja”? Kalau statusnya mitra, perusahaan aplikasi bisa lepas tangan dari kewajiban memberi upah minimum, tunjangan, atau BPJS. Tapi kalau dianggap pekerja, berarti ada hak normatif kayak karyawan lain: gaji tetap, jamsostek, cuti, dan lain-lain.
Nah, perusahaan aplikasi jelas lebih nyaman kalau driver disebut mitra. Mereka bisa atur sistem bagi hasil tanpa harus mikirin tunjangan. Tapi dari sisi driver, sebutan mitra sering dirasa timpang. Kenyataannya, mereka kerja penuh waktu, patuh sama aturan platform, tapi nggak dapat hak kayak pekerja.
Tarif Ojol: Antara Harapan dan Realita
Topik tarif juga nggak pernah sepi. Pemerintah lewat Permenhub udah bikin aturan soal batas bawah dan batas atas tarif ojol. Tapi di lapangan, sering kali tarif terasa kurang seimbang dengan biaya hidup.
Driver harus nanggung BBM yang harganya fluktuatif, servis motor tiap bulan, cicilan kendaraan, sampai asuransi pribadi. Sementara itu, konsumen juga pengen tarif murah. Platform aplikasi sering di posisi sulit: kalau tarif dinaikkan, konsumen bisa kabur; kalau diturunin, driver yang teriak. Jadilah tarik ulur yang nggak pernah selesai.
Komisi Aplikasi: Beban Tambahan
Selain tarif, potongan komisi aplikasi adalah beban berat buat driver. Seperti disebut di awal, ada yang bisa mencapai 30%. Angka segitu bikin driver sering kerja dari pagi sampai malam demi nutup kebutuhan.
Bayangin kalau sehari bawa pulang Rp150 ribu, setelah potongan dan biaya operasional, sisa bersihnya bisa tinggal separo. Belum lagi kalau ada order cancel atau bonus yang tiba-tiba berubah aturan. Driver sering ngerasa dipermainkan sama sistem yang berubah tanpa sosialisasi jelas.
Perlindungan dan Jaminan Sosial
Salah satu poin yang lagi dibahas pemerintah adalah jaminan sosial buat driver ojol. Selama ini, sebagian driver udah mandiri daftar BPJS Kesehatan atau BPJS Ketenagakerjaan. Tapi idealnya, platform juga ikut tanggung jawab.
Ada wacana supaya regulasi baru mewajibkan perusahaan aplikasi ikut serta dalam penyediaan jaminan sosial. Misalnya minimal bayar sebagian iuran BPJS, atau kasih perlindungan tambahan kayak asuransi kecelakaan kerja.
Suara Driver di Lapangan
Kalau denger cerita langsung dari driver, kebutuhannya sebenarnya sederhana:
Tarif yang adil.
Potongan aplikasi masuk akal.
Perlindungan kerja jelas.
Aturan yang konsisten, nggak gampang berubah.
Banyak driver bilang, mereka nggak minta jadi pegawai tetap, tapi minimal ada kepastian soal hak dasar. Biar kalau ada kecelakaan, sakit, atau kondisi darurat, keluarga mereka nggak ditinggal tanpa perlindungan.
Harapan ke Depan
Regulasi baru yang lagi dibahas diharapkan bisa kasih kepastian. DPR udah dorong potongan maksimal 10%, pemerintah nyiapin aturan jaminan sosial, dan komunitas driver makin solid bersuara. Meski jalannya panjang, langkah-langkah ini bisa jadi awal buat masa depan ojol yang lebih jelas.
Karena kalau dibiarkan abu-abu terus, driver bakal terus jadi pihak yang paling dirugikan. Mereka udah keluar tenaga, waktu, bahkan nyawa, tapi perlindungan hukumnya tipis. Padahal, ojol udah jadi tulang punggung mobilitas masyarakat modern di Indonesia.
Jadi wajar kalau isu ojol sekarang rame banget. Dari tarif, regulasi, sampai status kerja, semua masih jadi perdebatan. Driver nunggu kepastian, platform cari keseimbangan, dan pemerintah dituntut bikin aturan yang adil. Intinya, nasib jutaan driver ojol ada di ujung pena regulasi baru ini.