
Latar Belakang Konflik Thailand dan Kamboja
Perang Thailand dan Kamboja bukan konflik baru. Perselisihan ini berakar dari perebutan wilayah di sepanjang garis perbatasan kedua negara, khususnya di sekitar Kompleks Candi Preah Vihear dan Ta Muen Thom.
Meskipun Mahkamah Internasional telah memutuskan pada tahun 1962 bahwa Preah Vihear berada di wilayah Kamboja, banyak titik di sekitarnya masih disengketakan hingga kini. Peta kolonial yang berbeda interpretasi membuat klaim batas menjadi tumpang tindih dan rawan konflik.
Lebih dari sekadar sengketa tanah, konflik ini juga dipengaruhi oleh nasionalisme, kepentingan politik dalam negeri, hingga nilai strategis dan sumber daya alam yang terkandung di kawasan perbatasan.
Awal Ketegangan Sebelum Juli 2025
Pada Mei 2025, bentrokan di daerah Chang Bok menewaskan satu tentara Kamboja. Peristiwa ini menandai meningkatnya tensi antara kedua pihak. Meski kemudian sempat mereda, gesekan antar patroli terus terjadi hingga akhirnya meledak pada akhir Juli 2025.
Kronologi Eskalasi Juli 2025
24 Juli: Serangan Udara dan Awal Konflik Terbuka
Konflik bersenjata dimulai pada 24 Juli ketika militer Thailand meluncurkan serangan udara menggunakan jet tempur F-16. Serangan ini ditujukan ke beberapa titik militer Kamboja di sekitar perbatasan, menyusul tuduhan bahwa pihak Kamboja telah menembakkan artileri ke wilayah Thailand.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, pasukan Kamboja membalas menggunakan roket BM-21 dan artileri berat. Serangan balasan ini mengenai beberapa fasilitas sipil, termasuk sekolah dan rumah sakit lapangan.
25–26 Juli: Bentrokan Meluas dan Korban Bertambah
Dalam dua hari berikutnya, bentrokan meluas ke enam titik di sepanjang garis perbatasan sepanjang lebih dari 200 km. Bom cluster dilaporkan digunakan, menyebabkan kerusakan besar dan korban jiwa di kalangan warga sipil.
Lebih dari 30 orang dilaporkan tewas dalam waktu singkat, sebagian besar adalah warga sipil. Banyak di antaranya anak-anak dan perempuan. Ribuan warga terpaksa mengungsi ke tempat yang lebih aman, meninggalkan rumah dan ladang mereka.
27 Juli: Tekanan Internasional dan Seruan Gencatan Senjata
Di tengah eskalasi konflik, tekanan internasional datang dari berbagai pihak. Amerika Serikat mendorong gencatan senjata dengan menyampaikan pesan langsung kepada pemimpin kedua negara. Ancaman ekonomi berupa penghentian kerja sama dagang menjadi tekanan utama.
Kamboja secara terbuka menyatakan kesediaan untuk melakukan gencatan senjata tanpa syarat. Sementara itu, Thailand merespons secara hati-hati, dengan menuntut komitmen nyata dari pihak Kamboja untuk menghentikan serangan ke wilayah sipil.
Dampak Konflik bagi Masyarakat Sipil
Korban Jiwa dan Kerusakan Sipil
Jumlah korban jiwa mencapai sedikitnya 32 orang hingga akhir Juli, termasuk warga sipil dan personel militer. Fasilitas publik seperti sekolah, rumah sakit, SPBU, dan pasar menjadi sasaran serangan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Salah satu peristiwa paling tragis terjadi ketika sebuah keluarga menjadi korban ledakan di SPBU saat membeli makanan ringan. Anak-anak yang masih berusia di bawah 15 tahun menjadi korban.
Pengungsi dan Krisis Kemanusiaan
Konflik ini menyebabkan gelombang pengungsian besar-besaran. Lebih dari 130 ribu orang dari dua negara mengungsi ke daerah yang lebih aman. Banyak dari mereka kini tinggal di kamp pengungsian darurat, dengan fasilitas terbatas.
Di sisi Thailand, kuil Buddha dan sekolah dijadikan tempat penampungan. Sementara di Kamboja, masyarakat setempat mendirikan pos bantuan secara mandiri untuk menampung para korban.
Kebutuhan mendesak meliputi makanan, air bersih, selimut, dan obat-obatan. Organisasi kemanusiaan mendesak adanya jalur bantuan terbuka dan aman bagi para pengungsi.
Posisi Politik Kedua Negara
Thailand
Pemerintah Thailand menganggap tindakan militernya sebagai bentuk pertahanan diri. Mereka menyatakan bahwa serangan dilakukan sebagai balasan atas serangan roket Kamboja yang mengenai wilayah sipil.
Thailand juga menuduh Kamboja menggunakan taktik menyembunyikan senjata berat di area sipil, seperti sekolah dan rumah ibadah, sehingga mempersulit operasi militer yang presisi.
Meski setuju melakukan pembicaraan damai, Thailand lebih menyukai penyelesaian bilateral dan menolak mediasi pihak asing untuk saat ini.
Kamboja
Kamboja menuduh Thailand sebagai pihak yang memulai agresi bersenjata. Pemerintah menyebut serangan udara pada 24 Juli sebagai pelanggaran kedaulatan yang brutal dan meminta penyelidikan internasional atas korban sipil yang terus bertambah.
Kamboja juga menyatakan kesediaannya untuk mengikuti jalur diplomasi dan mendukung mediasi oleh ASEAN maupun PBB. Pemerintah menyerukan gencatan senjata sepenuhnya dan pembukaan jalur kemanusiaan.
Upaya Diplomatik dan Mediasi
Peran ASEAN
Sebagai organisasi regional, ASEAN menyerukan kedua negara untuk menahan diri dan melakukan dialog. Malaysia, selaku ketua ASEAN tahun ini, menawarkan diri sebagai mediator dalam pembicaraan damai.
Namun respons kedua negara masih berbeda. Kamboja menerima tawaran ini, sementara Thailand cenderung memilih jalur langsung tanpa keterlibatan organisasi regional.
Keterlibatan Internasional
Amerika Serikat memainkan peran penting dalam menekan kedua negara agar segera menghentikan konflik. Ancaman pembekuan kerja sama perdagangan membuat proses negosiasi mulai berjalan, meski belum menghasilkan gencatan senjata formal yang efektif.
PBB menyatakan keprihatinan mendalam terhadap korban sipil dan telah mengusulkan sidang darurat di Dewan Keamanan untuk membahas kemungkinan sanksi atau pengiriman misi pemantau ke lapangan.
Prospek Perdamaian
Meskipun gencatan senjata resmi belum tercapai, sinyal positif mulai muncul. Kedua negara setidaknya telah menyampaikan niat untuk meredakan ketegangan dan kembali ke meja perundingan.
Faktor-faktor yang dapat mendorong perdamaian jangka panjang antara lain:
Komitmen kedua negara terhadap dialog terbuka dan verifikasi independen.
Tekanan diplomatik dari negara-negara besar dan organisasi internasional.
Peran aktif masyarakat sipil yang menolak eskalasi kekerasan.
Aktivasi kembali Komisi Perbatasan Bersama (Joint Border Commission) yang selama ini vakum.
Perang Thailand dan Kamboja di Juli 2025 menjadi pengingat bahwa konflik perbatasan yang tak terselesaikan bisa meledak kapan saja. Dengan korban jiwa yang terus bertambah dan krisis kemanusiaan yang berkembang, situasi ini membutuhkan penanganan segera.
Namun di tengah kekacauan, masih ada harapan. Intervensi diplomatik, tekanan ekonomi, dan upaya mediasi regional membuka peluang untuk meredakan ketegangan. Jalan damai memang tidak mudah, tapi jauh lebih layak ditempuh daripada kembali tenggelam dalam siklus kekerasan.